Oleh Tabrani Yunis *)
Beberapa penulis yang telah
berpengalaman, seperti Eka Budianta, pernah mengungkapkan kepada public bahwa
menulis itu mudah. Kalau tidak percaya, baca saja bukunya yang berjudul
menggebrak dunia mengarang. Bahkan sang penulis yang berambut gondrong, yang menerbitkan
sebuah tabloid remaja terkenal di tanah air, Arswendo Atmowiloto, mengatakan
bahwa menulis itu gampang. Tidak juga percaya ? Baca saja bukunya Menulis itu
gampang. Banyak lagi penulis lain yang selalu memotivasi para remaja, orang tua
atau siapa saja untuk menulis. Hernowo, lelaki kelahiran Magelang yang kini
menjadi penulis best seller di penerbit MLC yang sangat produktif dalam
menuliskan kiat-kiat menulis juga mengatakan menulis itu sangat mudah. Salah
satu bukunya yang masih baru adalah Menjadi Guru Yang Mau dan Mampu Membuat
Buku. Berbagai kiat atau resep menulis ditawarkan kepada guru. Dalam kata
pengantar di buku terbitan MLC itu, Hernowo berpesan berharap" saya ingin
para pengajar di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Saya
ingin sekali para pengajar itu dapat memperkaya para muridnya dengan
cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis
mereka. Hernowo dengan bahasa yang cair itu menyuguhkan cara-cara yang mudah
untuk menulis. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis ?
Banyak bukti untuk menerangkan
tentang rendahnya budaya menulis di kalangan guru. Kita tidak perlu membuat
indikator terlalu banyak. Cobalah amati buku-buku di perpustakaan atau di
toko-toko buku. Hitunglah, berapa banyak buku yang ditulis oleh para guru. And
membaca surat kabar ? Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para
guru. Pasti jarang sekali. Bukan ?
Benarkah guru tidak mampu menulis
atau tidak terbiasa menulis ? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam
realitasnya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis
di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang
diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa.
Padahal, guru harus membuat karya tulis kalau mau cepat naik pangkat. Ketidak
mampuan ini telah melahirkan sebuah kebohongan baru di dalam diri sebagian guru
yang ingin cepat naik pangkat. Caranya banyak, bisa dengan meminta tanaga orang
lain, dengan cara membayar dan bahkan bahkan dengan melakukan tindakan
pemalsuan. Ini sebuah tindakan memalukan dan merendahkan kredibilitas guru.
Padahal, kalau bisa menulis karya tulis sendiri, aktivitas ini adalah sebuah
upaya pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi,
budaya menulis di kalangan guru itu sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus
mau dan pintar menulis. Mengapa demikian ?
Dilihat dari perspektif guru
sebagai subjek, sebagai praktisi pendidikan para guru memiliki potensi menulis
yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa
pengalaman pribadi tentang system dan model pembelajaran yang dijalankan. Guru
bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka
cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan
sebagainya. Di pihak lain, sebagai objek, selama ini banyak orang menjadikan
guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan
kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin
marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka
ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai
guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis
oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran
bagi semua orang.
Betapa banyak hikmah dan
keuntungan yang dapat dipetik guru, kalau mereka mau menulis.
Keuntungan-keuntungan itu antara lain: *Pertama*, kegiatan menulis adalah
sebuah aktivitas yang dapat memberikan motivasi tinggi kepada guru. Ketika
tulisan–tulisan (karya tulis) dipublikasikan di media, kita biasanya sangat
senang (fun) serta terdorong untuk menulis lagi. Kita juga merasa bangga
(pride) dengan pemuatan itu. Ini sering menjadi motivasi. Nah, bila guru banyak
menulis, maka sang guru akan sangat termotivasi bahwakan mendapat nilai tambah
(added value) karena bisa digolongkan ke dalam kelompok intelektual. Ini salah
satu nilai positifnya. *Kedua,*kegiatan menulis bisa membuat guru menjadi
manusia pembelajar (istilah yang dipakai penulis Harefa). Karena kalau guru mau
atau akan menulis, ia pasti harus melakukan aktivitas membaca. Membaca dalam
arti ril seperti membaca berbagai referensi atau literature dan juga membaca
realitas social. Pada proses ini sang guru yang suka menulis akan terbiasa
dengan aktivitas belajar mengidentifikasi masalah, belajar menganalisisnya
serta mengasah kemampuan mencari solusi. Pembelajaran yang demikian bisa
membuat guru menjadi sosok pendidik yang kritis. Kalau ini dilakukan, kesan
guru malas belajar akan pupus. *Ketiga*, percaya atau tidak, menulis bisa
memberikan keuntungan popularitas. Para penulis yang sering menulis di media
massa, biasanya akan dikenal oleh banyak orang. Apalagi kalau ia mampu menyajikan
hal-hal yang menarik, pasti para pembaca akan selalu teringat dengan si
penulisnya. Guru juga akan bisa memiliki banyak penggemar di bidang ini.
Sekali lagi, kalau guru mau
menulis. "Keempat", tak dapat dipungkiri bahwa menulis sebenarnya
bisa menambah *income*. Tidak percaya ? Coba saja kirim tulisan atau karya
tulis ke media. Bila tulisan dimuat, maka kocek akan bertambah. Bagi guru
menulis bisa mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi para guru yang selama
ini dirasakan masih rendah tingkat kesejahteraannya. Dan Andai guru mau aktif
menulis di media atau menulis buku, performance guru pasti berubah. Hasil
menulis di media, bisa lebih besar dibandingkan gaji guru yang diterima setiap
bulannya. Tidak percaya ? Silakan coba. *Kelima*, ada nilai tambah dari menulis
yang bisa dipetik sang guru. Dengan menulis, guru bisa menambah angka kredit.
Kredit ini lebih bergengsi dan jumlahnya lebih besar dari mengajar selama satu
semester. Bayangkan saja, satu artikel yang dimuat di media massa, nilai kreditnya
2 point. Kalau guru bisa menulis dengan baik, guru tidak perlu mengeluarkan
banyak uang untuk membayar ongkos menulis sebuah karya tulis untuk kenaikan
pangkat. Banyak sekali keuntungan menulis bagi guru,kalau guru mau menulis.
Betapa sayangnya, kalau guru malas, atau tidak bisa menulis. Padahal, kata
Dylan Thomas "Menulislah, karena hanya itu cara untuk membuat dunia tahu
apa yang engkau pikirkan"
Agaknya, memang tidak ada kata
terlambat bagi para guru untuk mengembangkan kreativitas menulis. Banyak jalan
agar para guru bisa menulis. Bukankah para guru sebenarnya memiliki potensi
yang besar dalam menulis. Guru memiliki sejuta masalah yang membutuhkan langkah
analisis dan solusif ? Bukankah merubah paradigma pembelajaran itu lebih cepat
terjadi kalau guru banyak membaca dan kemudian mengekspresikan hasil bacaan itu
ke dalam sebuah tulisan, apapun bentuknya. Apakah para guru harus diberikan
dorongan ekstra ?
Wah, alangkah bermakna dan
berharganya kalau guru mau berlatih, berlatih dan berlatih menulis. Betapa
terangkatnya martabat guru, kalau guru bisa dan mau menulis. Kalau guru mau
menulis,pasti akan banyak anak didik yang bisa menjadi penulis andalan. Kiranya
tidak ada kata terlambat bagi para guru untuk menulis. Yang ada mari mencoba,
membangun diri dengan menulis Semoga.
*) Tabrani Yunis (Peminat masalah
sosial dan Pendidikan, berdomisili di Banda Aceh)
Director Center for Community
Development and Education (CCDE)
Jl. Elang Timur No. 64 Blang Cut
- Lueng Bata
PO. Box 141 Banda Aceh 23001
Indonesia
Telp. +62 651 7428446
Fax. +62 651 26995
Email. ccde.aceh@gmail.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar