Sesungguhnya segenap
pujian hanyalah milik Allah, kami puji Dia, kami memohon pertolongan, ampunan
serta taubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri
kami dan dari kejelekan amal perbuatan kami. Siapa yang diberi petunjuk oleh
Allah, niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan
Allah maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tidak ada sekutu
bagi Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
hamba dan utusan-Nya.
Wa ba’du:
Sesungguhnya
seutama-utama kewajiban atas seorang mu’min adalah keyakinannya, yaitu beriman
secara mantap bahwa Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita dan mencukupkan
nikmat-Nya atas kita dengan dibangkitkannya serta diutusnya seorang rasul yaitu
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.”
(Q.S. Al-Maidah 3). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda: “Aku telah meninggalkan kalian atas hujjah yang
terang, malamnya seperti siangnya, maka orang yang menyimpang dari
hujjah (keterangan) tersebut setelahku pasti akan binasa.” (H.S.R. Ibnu Majah.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, hadits no.
5). Oleh karena itu bagi seorang mu’min yang menginginkan dan sedang
mencari jalan keselamatan harus membatasi tingkah laku dan ibadahnya sesuai
dengan apa yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuknya melalui
lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak boleh ridha terhadap
dirinya atau orang lain siapapun dia jika ada yang membuat syariat dalam agama
Allah subhanahu wa ta’ala atau menganggap sesuatu itu baik berdasarkan akalnya
semata dan hawa nafsunya apa-apa yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala.
Maka orang yang mencari
kebenaran dan mencintai As-Sunnah dia tidak akan beramal dengan suatu amalan
yang tidak diperbolehkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala baik berupa perayaan,
atau peringatan, atau ibadah lainnya, dia hanya akan beramal dengan amalan yang
ada keterangannya, lebih-lebih lagi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan
niat ibadah dan mendapatkan pahala. Dari sini kita dapat memahami ucapan ulama
yang berbunyi : “ Segala macam ibadah dilakukan harus dengan tauqifiyyah“,
yaitu harus berdasarkan nash dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, tidak ada tempat
bagi akal untuk membuat syariat atau mengatakan baik buruknya suatu perbuatan.
Apabila engkau menginginkan dalil-dalil maka tidak terhitung banyaknya,
diantaranya :
a. Firman Allah subhanahu
wa ta’ala: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya
(terserah) kepada Allah.” (Q.S. Asy-Syura 10)
b. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Katakanlah: Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” (Q.S. Ali Imran 31)
c. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Siapa
yang mengada-adakan sesuatu dalam agama kami ini, sesuatu yang tidak ada dasar
daripadanya, maka dia itu pasti tertolak.” (H.S.R. Bukhari dan Muslim)
d. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Janganlah kalian mengada-adakan perkara perkara yang baru dalam
agama, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (H.S.R. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abu Daud, hadits no. 3851).
Saya mohon agar anda
berhenti sejenak memperhatikan ucapan yang sangat teliti, diucapkan bukan
berdasarkan hawa nafsu tetapi berasal dari wahyu, yaitu ….. (karena setiap
perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat),
sungguh jelas bagimu bahwa kata “setiap” termasuk dari ucapan-ucapan yang
mempunyai arti umum, mencakup segala macam bid’ah tanpa terkecuali.
e. Ucapan Ibnu Mas’ud
radliyallahu 'anhu: “Ikutilah kalian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka itu cukup bagimu.”
Akhi Mu’min…
Apabila dalil-dalil di atas
yang merupakan pemahaman aqidah telah engkau yakini secara mantap dan diterima
dengan benar maka engkau dapat menilai setiap ibadah baik dalam bentuk perkataan
atau amalan berdasarkan standar ini, apakah dia itu disyariatkan atau merupakan
suatu hal yang diada-adakan apakah dia itu sunnah atau bid’ah. Kita ambil contoh
perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kecintaan
kita, imam, teladan, dan pemimpin kita ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala yang lurus,
penutup para nabi dan tuan para rasul, pemimpin orang-orang yang mempunyai
wajah cemerlang (merupakan keistimewaan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwa wajah-wajah mereka cemerlang di hari akhir dikarenakan bekas air
wudhu’) yang diutus sebagai imam dan rahmat bagi seru sekalian alam. Dan kami
akan bahas masalah ini dengan adil dan jujur terlepas dari hawa nafsu dan
segala ketetapan yang dibuat manusia pada masa lalu dan menimbangnya dengan
timbangan syariat serta menilainya berdasarkan kitab Allah subhanahu wa ta’ala
dan sunnah nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: “Sesungguhnya
sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sejelek-jelek perkara adalah
sesuatu yang diada-adakan, dan setiap sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hadits shahih riwayat Muslim)
Beliau juga telah
mewasiatkan kepada kita melalui haditsnya agar kita berpegang teguh dengan
petunjuk sebaik-baik generasi dan sebersih-bersihnya, beliau bersabda: “Sebaik-baik
manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian
orang-orang sesudah mereka.” (H.S.R Bukhari dan Muslim). Dan hanya
kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon agar memperlihatkan kepada kami
bahwa yang haq itu haq dan memberinya kemampuan untuk mengikutinya dan
memperlihatkan kepada kami bahwa yang batil itu batil dan memberinya kemampuan
kepada kami untuk menjauhinya.
Awal Mula Berkembangnya
Peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam
Al-Hafizh Ibnu Katsir
menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah (11\172) bahwa Daulah
Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah nisbah kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Alqadah Alyahudi yang
memerintah Mesir dari tahun 357 H-567 H. Merekalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan
yang banyak sekali diantaranya perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Keterangan ini ditulis juga oleh Al-Maqrizy dalam kitabnya
Al- Mawa’idz wal I’tibaar (1\490), dan Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i mufti
Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal
Ahkam [halaman 44- 45], dan Syaikh ‘Ali Mahfudz menyetujui mereka dalam
kitabnya yang baik Al-Ibdaa’ fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain
mereka masih banyak lagi. Jadi yang pertama-tama mensyariatkan perayaan ini
mereka adalah orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan
kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba
Al-Yahudi. Mereka tidak mungkin melakukan yang demikian karena cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi karena ada maksud lain yang tersembunyi.
Hukum Islam Dalam
Peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Sebagaimana kita ketahui
bahwa segala kebaikan didapat dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan tiga generasi terbaik (Shahabat, tabi’in dan Tabi’ut
Tabi’in) dan barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dengan cara beribadah yang belum pernah dilakukan pada masa yang terbaik
tersebut maka ibadahnya tertolak, ia menanggung dosanya meskipun dilakukan
dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Dan peringatan Maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sebagaimana engkau ketahui wahai saudaraku:
1. Belum pernah
dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga Khulafa
Ar-Rasyidin dan selain mereka dari para shahabat serta para Tabi’in yang mengikuti
para shahabat dengan kebaikan yang merupakan generasi terbaik, dan mereka
adalah orang-orang yang paling mengerti tentang As-Sunnah dan paling sempurna
cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan paling depan dalam
mengikuti syariatnya, seandainya peringatan maulid itu baik niscaya mereka akan
mendahului kita untuk memperingatinya.
2. Sebagaimana engkau
ketahui yang pertama-tama melaksanakannya orang-orang Zindiq masa pemerintahan
Fathimiyyah di abad ke-empat hijriyyah.
3. Menyerupai orang-orang
Nashrani yang memperingati kelahiran Al-Masih ‘Alaihis Salam, padahal kita
telah dilarang untuk menyerupai mereka dan meniru mereka dalam hari raya
mereka.
4. Sesungguhnya merayakan Maulid Nabi dan yang semisalnya
dapat dipahami bahwa Allah subhanahu wa ta’ala belum menyempurnakan dien kepada
umat ini, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum menyampaikan apa
yang seharusnya dilakukan oleh umat, dan generasi yang utama-belum sampai
kepada pengagungan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mencintainya,
dan memuliakannya dengan sebenar-benarnya, berbeda dengan orang-orang
belakangan ini. Pasti tidak ada yang mengatakan atau meyakini yang demikian
kecuali orang Zindiq yang keluar dari dien Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah Allah
membangkitkan suatu nabi kecuali pasti atasnya untuk menunjukkan umatnya
tentang kebaikan apa yang beliau ketahui kepada mereka.” (H.S.R. Muslim).
Dan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seutama-utamadan sesempurna-sempurna
serta penutup para nabi, jika perayaan Maulid Nabi merupakan bagian dari dien
niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjelaskannya kepada umat
atau melakukannya semasa hidupnya atau para shahabat radliyallahu 'anhu akan
melakukannya. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak melakukannya karena kerendahan hati beliau, ini
menghujat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
karena konsekuensinya bahwa
beliau telah mengurangi dan menyembunyikan sesuatu dari kebaikan, hal ini
mustahil terjadi pada diri beliau, juga berarti menghujat parashahabat
radliyallahu 'anhum yang telah Allah subhanahu wa ta’ala puji, karena konsekuensinya
bahwa mereka mengurangi suatu amalan yang penuh berkah, berbeda dengan orang
sekarang yang lebih pintar dari mereka. Hudzaifah ibnul Yaman radliyallahu
'anhu berkata: “Setiap ibadah yang belum pernah dilakukan oleh para shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka janganlah kalian kerjakan, sesungguhnya
generasi awal tidak me ninggalkan bagi generasi yang akhir perkataanpun,
maka bertakwalah kepada Allah wahai para qurraa’ dan ambillah jalan orang-orang
sebelum kamu.”
5. Memeriahkan malam maulid
bukan merupakan bukti kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
berapa banyak yang engkau lihat dan dengar tentang orang yang memeriahkan malam
perayaan tersebut, mereka adalah sejauh-jauh orang dari petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasiq
dan sering berbuat dosa seperti bermuamalah dengan riba, mengentengkan sholat,
menyia-nyiakan sunnah-sunnah yang zhahir dan yang batin dan segala perbuatan
keji dan yang membinasakan. Bukti kecintaan yang benar kepada sayyidina,
habibina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang diinginkan
Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah, jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu …” (Q.S. Ali
Imran
31).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam juga telah bersabda: “Semua umatku masuk jannah (surga)
kecuali yang enggan” Mereka (para shahabat radliyallahu 'anhum) berkata: “Siapa
wahai rasulullah yang enggan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia masuk jannah (surga) dan barangsiapa
yang bermaksiat kepadaku maka dia telah enggan.” (H.S.R. Bukhari). Maka kecintaan
yang benar kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan mengikutinya
dan berpegang teguh dengan petunjuknya baik secara zhahir maupun batin, dan
berjalan di atas jalannya dan mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
penampilan, perkataan, dan perbuatannya, dalam ciri-cirinya dan akhlaknya, sebagaimana
telah dikatakan: “Apabila cintamu benar niscaya engkau taat kepadanya. Sesungguhnya
orang yang cinta taat kepada yang dicintai.”
6. Selain itu kebanyakan
dari ulama masa sekarang menyebutkan kerusakan-kerusakan yang besar dan
kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada perayaan Maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan perayaan lainnya, bahkan orang-orang yang ikut serta di
dalamnya dan menghadirinya kemudian Allah subhanahu wa ta’ala beri petunjuk dia
sehingga menjauhi dan meninggalkannya mengakui akan segi negatif dari perayaan-perayaan
bid’ah ini. Diantaranya adalah ucapan-ucapan syirik dan berlebihlebihan dalam
memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk syair-syair meminta
pertolongan dan bantuan dari beliau, dan keyakinan bahwa beliau mengetahui hal
yang ghaib, sebagaimana terdapat dalam qasidah Al-Bushairi yang dijadikan dasar
dari malam-malam itu: “Wahai semulia-mulia makhluk, tidak ada yang dapat saya
mintai pertolongannya kecuali engkau pada saat menghadapi segala musibah.
Sesungguhnya kedermawananmu meliputi dunia dan seisinya. Dan ilmumu meliputi
ilmu Lauh (Mahfuzh) dan Al-Qalam.”
Kemungkaran yang
lainnya adalah campur baurnya laki-laki dan wanita, menggunakan musik, minuman
keras, memandang (wanita yang bukan mahram dan) anak muda yang belum tumbuh
jenggot, mengkultuskan para wali, dan masih banyak kemungkaran lainnya tidak
terhitung dan sukar untuk dibatasi dikarenakan adanya perbedaan antara negeri
yang satu dengan negeri yang lain, bahkan sebagian dari mereka lebih
mengutamakan malam itu dari malam Lailatul Qadar, sehingga mereka giat serta
bersungguh-sungguh beramal pada malam tersebut tidak seperti amalan dia pada
malam Lailatul Qadar, juga sebagian diantara mereka yang mengkafirkan
orangorang yang tidak ikut perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
7. Hari dimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari itu juga beliau shallallahu
‘alaihi wasallam wafat yaitu hari yang ke duabelas dari bulan Rabiul Awwal
sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab sirah, bukankah sedih pada waktu itu lebih
utama dari bergembira, maka secara akal mestinya menjadikan hari itu sebagai hari
berkabung lebih pantas daripada sebagai hari raya (nyatanya dalam dien tidak ada
hari berkabung, karena memang dien bukan dengan akal).
Syubhat dan Bantahannya
Orang-orang yang merayakan
maulid mempunyai alasan-alasan dan dalil-dalil, yang paling menonjol adalah:
1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Katakanlah,
dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.”(Q.S. Yunus 58).
Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat, dan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah sebesar-besar rahmat, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah
berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa’ 107)
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan
ayat ini yang mereka kemukakan tidak pada tempatnya, dan penggunaan ayat yang
tidak pada maksudnya, dan mereka menetapkan apa yang tidak ditetapkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang paling tahu tentang
Al-Qur’an dan yang paling paham tentang sesuatu yang dikehendaki Allah subhanahu
wa ta’ala dari nash-nash Al-Qur’an, pemahaman mereka menyimpang kaidah-kaidah
syariah yang dipahami oleh As-Salaf Ash-Shalih dan seutama-utama generasi dalam
memahami arti dan pengambilan istinbat dari Al-Qur’an, dan Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan perkataan ulama salaf tentang makna dari
ayat ini bahwa fadhlullah (karunia Allah) adalah Al-Qur’an sedangkan rahmat-Nya
yang dimaksud adalah As-Sunnah.
2. Terdapat dalam Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sampai
di Madinah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan orang-orang Yahudi
melakukan puasa Asy-Syura, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepada mereka, mereka menjawab: “Dia itu hari di mana Allah menenggelamkan
Fir’aun dan menyelamatkan Musa maka kami puasa sebagai rasa syukur kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya
lebih berhak dari kalian terhadap Musa as “. Maka beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa padanya (pada hari Asy-Syura yaitu hari yang ke sepuluh di bulan
Muharram) dan memerintahkan untuk puasa padanya. Mereka berkata nikmatyang mana
lebih besar dari nikmat keluarnya Nabi rahmah ke dunia ini pada hari tersebut,
dan dengan demikian sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas nikmat ini kita harus
merayakannya.
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan
hadits puasa hari Asy-Syura adalah pengambilan dalil yang batil dan qiyas yang
rusak dikarenakan kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat
diutusnya Nabi ini bukan atas kelahirannya, saya tambah lagi bahwa puasa hari
Asy-Syura disyariatkan dan disukai berdasarkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan beliau tidak mensyariatkan kepada kita untuk merayakan hari
kelahirannya.
3. Apa yang dikeluarkan
oleh Imam Baihaqi dari Anas ra bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
meng-aqiqahi dirinya setelah kenabian, padahal kakeknya Abdul Muthalib telah
meng-aqiqahi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ke tujuh setelah
hari kelahirannya, maka dapat diambil kesimpulan pengulangan yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai rasa syukur kepada Allah
subhanahu wa ta’ala atas lahirnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
rahmat kepada seluruh alam dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
tersebut sekaligus sebagai syariat kepada umatnya untuk mencontoh beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam sesudahnya.
Jawabannya:
Imam Malik rahimahullah
menjadikan hadits ini salah satu dari hadits-hadits yangbatil sebagaimana
dinukil oleh Ibnu Rusyd dalam bab Aqiqah dari kitab “Al-Muqaddimaat
Al-Mumahhadaat”, dan hadits ini telah dilemahkan oleh para ulama seperti Abdur
Razaq dan Abu Daud dari Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dan Al-Bazzar rahimahullah
dikarenakan lemahnya salah seorang rawi yang bernama Abdullah bin Al-Muhawwar,
seumpama hadits ini shahih tetap tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
4. Urwah meriwayatkan bahwa
ia berkata tentang Tsuwaibah bekas budak Abu Lahab yang dimerdekakan olah
tuannya karena gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
kemudian ia menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau
bermimpi setelah matinya Abu Lahab bahwa ia di neraka, ketika ditanya tentang
keadaannya beliau menjawab ia di neraka tetapi diringankan adzabnya setiap hari
Senin karena ia telah memerdekakan Tsuwaibah karena gembira akan kelahiran Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: “Sikapnya terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dilakukan oleh Abu Lahab seorang kafir penduduk
neraka, maka lebih pantas lagi dilakukan oleh seorang muslim yang bertauhid
yang gembira akan kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbuat semaksimal
mungkin sesuai dengan kesanggupannya.
Jawabannya:
Hadits ini mursal (salah
satu istilah untuk hadits yang lemah) sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan
disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari,
begitu pula mimpi dalam tidur tidak bisa dijadikan hujjah, dan ini bertentangan
dengan Al-Qur’an yang menyebutkan dalam ayat-ayatnya bahwa amal shalih yang
dilakukan oleh seorang kafir tidak dapat memberi manfaat di hari akhirat.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amalitu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S.
Al-Furqan 23)
5. Mereka berkata
bahwasanya perayaan maulid apabila tidak dikhususkan pada tanggal dua belas
Rabiul Awwal atau dilaksanakan di luar bulan Rabiul Awwal atau tidak dikhususkan
pada waktu-waktu tertentu maka boleh-boleh saja.
Jawabannya:
Ini pengakuan yang batil dan
ucapan yang tertolak karena ibadah dan syariat itu adalah tauqifiyyah (harus
berdasarkan nash baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah), tidak boleh kita
beribadah dengan tata cara tertentu yang tidak terdapat dalam syariat meskipun
dalam bentuk dzikrullah, atau membaca sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
kenyatannya juga membuktikan bahwa perayaan maulid banyak dilakukan pada bulan
Rabiul Awwal.
6. Sesungguhnya maulid itu
pertemuan untuk berdzikir, shadaqah, memuji dan mengagungkan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, dan perkara-perkara ini dituntut oleh syariat dan perbuatan
yang terpuji, banyak keterangan-keterangan yang shahih menganjurkan hal-hal
tersebut.
Jawabannya:
Benar, banyak hadits-hadits
yang shahih menganjurkan untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
shadaqah, dan yang lainnya. Tetapi tidak ada satu keteranganpun yang
menganjurkan untuk berkumpul secara khusus, dengan bentuk dan waktu yang khusus
pula, begitu pula dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang biasa dibaca pada malam
tersebut tidak ada asalnya dalam syariat dan tidak ada dalilnya dari wahyu, dan
bait-bait syair yang dibacakan berisikan hal-hal yang berlebih-lebihan dan kebatilan
di dalamnya.
7. Terdapat dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya bahwa seorang laki-laki bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Senin, maka beliau
menjawab kepadanya: “Dia itu hari di mana saya lahir dan pada hari
itu pula wahyu diturunkan kepada saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
telah mengagungkan hari Senin dikarenakan hari kelahirannya, kemudian mereka
memilih hari kelahirannya yaitu pada tanggal dua belas Rabiul Awwal dengan mengagungkannya
dan merayakannya.
Jawabannya:
Yang diminta pada hari
Senin setiap seminggu sekali adalah puasanya, tidak lebih dari itu, maka
mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berpuasa di hari Senin saja,
tidak terikat dengan tanggal tertentu, sedangkan mereka mengkhususkannya satu
hari dalam setahun pada bulan Rabiul Awwal, ditambah lagi bahwa mereka tidak mengagungkan
wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa pada setiap hari Senin
yang mempunyai banyak keutamaan, tetapi mereka mengagungkannya dengan makan dan
minum dan menabuh rebana, ini sekurang-kurangnya, padahal sebagaimana telah
diketahui olehmu bahwa ibadah itu adalah tauqifiyyah sehingga mengkhususkan
hari tertentu untuk beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri pada Allah
subhanahu wa ta’ala) secara tertentu pula membutuhkan kepada dalil syar’i dan
nyatanya tidak ada dalilnya atas perbuatan bid’ah tersebut. Dan jangan lupa pula
sebagaimana telah kami sebutkan bahwa pada tanggal dua belas Rabiul Awwal adalah
hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terputusnya wahyu dari langit
ini yang masyhur dari ulama Salaf. Maka katakanlah kepadaku demi Rabbmu apakah
engkau merayakan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau hari kelahirannya?
Apakah mungkin menyatukan antara keduanya?
Penutup
Sesungguhnya saya yakin
bahwa imanmu, ketaqwaanmu, ketaatanmu kepada kekasihmu Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, penguatanmu terhadap syariatnya atas hawa nafsumu dan
pendapatmu serta pendapat manusia, saya yakin bahwa hal itu semua mengatakan
kepadamu :
"Janganlah kamu
merayakan Maulid"
Semoga Allah memberi
shalawat dan salam kepada Nabi kita dan keluarganya serta para shahabatnya
sekalian.
Diterjemahkan oleh: Fariq
Qasim Anuz dari buletin berjudul Hal Nahtafil ?
Terbitan JEDDAH DA’WAH
CENTER Jeddah - Saudi Arabia.
JEDDAH DA’WAH CENTER (JDC)
P.O. BOX 6897 Jeddah 21452
KSA
Telp. 6829898
Tidak ada komentar :
Posting Komentar